Prinsip dasar dalam Syariat Islam mengenai perbuatan-perbuatan seorang
mukallaf, dirumuskan dalam kaidah syara’: Al ashlu fi al af’al at taqayyudu bi
al hukmi asy syar’i. ‘Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf)
adalah terikat dengan hukum syara’ (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy
Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 19).
Jadi perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum syara’, tidak
terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun juga perbuatan
itu. Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’ akan suatu
perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan itu, apakah perbuatan itu wajib,
sunnah, mubah, makruh, atau haram. Jika dia tidak mengetahui hukumnya, wajib
baginya bertanya kepada orang-orang yang berilmu. Firman Allah SWT :
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.” (TQS An Nahl : 43)
Dengan demikian, seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan dengan
aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan, hukumnya fardhu ‘ain
untuk mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya.Misalnya seorang dokter, maka
dia wajib ‘ain untuk mengetahui hukum pengobatan, definisi hidup atau mati,
otopsi, dan sebagainya. Seorang pedagang, wajib ‘ain untuk mengetahui hukum
jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan sebagainya. Seorang muslim yang
akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum
khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami isteri, thalaq, ruju’, dan
sebaginya.
Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya
sehari-hari, atau baru akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah
mengetahui hukum-hukumnya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al
Islamiyah Juz II, hal. 5-6). Misalkan seorang muslim yang mempelajari
hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti (tidak segera), maka
hukumnya adalah fardhu kifayah. Demikian pula muslim yang belum akan segera
melaksanakan haji, fardhu kifayah baginya untuk mempelajari hukum-hukum
seputar ibadah haji. Termasuk hukum fardhu kifayah, adalah menguasai ilmu-ilmu
keislaman sampai pada tingkat ahli (expert), misalnya menjadi ahli tafsir, ahli
hadits, ahli ijtihad (mujtahid) dan sebagainya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953,
Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 6).
Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah fardhu bagi setiap muslim.
Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di kemudian hari, dan
fardhu ‘ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam waktu dekat.
Hukum Menikah dan Menikah Dini
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah)
satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (TQS An Nisaa` : 3)
Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan
untukmelakukan nikah (thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat
pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan
pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan
yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah,
tidak wajib.
Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya
wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika
seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan
menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah)
dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud
kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah
syara’:
Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka
sesuatu itu wajib juga hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy
Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 36-37)
Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada
yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang
akan membahayakan agama isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :
Al wasilah ila al haram muharramah
“Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” (Taqiyuddin
An Nabhani, 1953, Muqaddimah Ad Dustur, hal. 86)
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan
usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub). (Taqiyuddin an
Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin,
sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga
kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi
perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) (HSA Al Hamdani, 1989, Risalah
Nikah, hal. 18)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al
(1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang telah
mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang
yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al
mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang
khusus/spesifik bagi seorang laki-laki (Ibid, hal. 332).
Hukum Yang Bertalian dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi
syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam
tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan
urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar),
pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah,
seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada
prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan
yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.
Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar
(mas kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada
isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi
isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan
Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta
secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada
isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun
kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu
setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri
seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al
Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya
sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus
Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah
untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab
pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang
impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini
menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.
Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah
dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini
dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah
sebagai berikut :
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.
Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun
dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan
menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya,
disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas,
yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat :
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat :
Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka
sesuatu itu wajib juga hukumnya.”
Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban
lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada
waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat,
kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam
pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa
(tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa
tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas
setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang
tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu
memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat
adalah dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :
“Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8)
Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan nikah harus
diwujudkan,
khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga
mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka
menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja
memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan betul
manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan terbengkalai. Adapun jika
mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau tidak bekerja sama
sekali karena tidak memungkinkankarena kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah
berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa tersebut berada dalam keadaan
tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari
orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As
Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang
ayah menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara
ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata kepda
Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki
bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku dan anakku, kecuali aku mengambil
hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW bersabda,”Ambillah apa yang
mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” (Abdurrahman Al Maliki,
1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166)
Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh,
atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak
mampu secara nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara
hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup—
maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak mampu,
maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al ‘aqarib) atau
ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :
“Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS
Al Baqarah : 233)
Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara
ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban
ini berpindah kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga
miskin atau tidak mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan
keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah
Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang
miskin yang menjadi rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al
Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 172).
Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga Kesucian Jiwa
(‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :
Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :
1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar
menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman Allah SWT :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan
katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya
dan memelihara kemauannya.” (TQS An-Nur:30-31)
2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar
menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar
tidak tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat
apa pun tidak berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya
terdapat syubhat, supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram.
Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah
jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh
kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat
sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang siapa yang
melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram,
sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di
seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah
sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar
(batas) Allah adalah apa yang diharamkannya.” (HR. Bukhari)
3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh
keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah, dan mampu mengendalikan
nafsu. Allah
SWT berfirman :
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan
dengan karunia-Nya.” (TQS. An Nur : 33)
4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan
khalwat. Yang
dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang
wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk
masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya
berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan
orang-orang. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah
jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram,
karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan.”
5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj, sebagaimana firman Allah :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan
mengandung) yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya
(bertabarruj).” (TQS. An-Nur : 60)
6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian
sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya
sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
(khimar) ke dadanya.” (TQS An Nuur: 31)
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.” (TQS Al Ahzab: 59)
7. Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu
tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila
disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari
Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.”
8. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah
kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam
masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah
tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah
tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian
belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya
bersama dengan para wanita atau mahram-mahramnya. Wanita dapat
melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi
begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau
mahram-mahramnya.
9). Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan
wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti
saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan
jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera
mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk
melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Dari seluruh uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
- Pertama, Setiap muslim wajib
terikat dengan hukum syara’ dalam setiap perbuatannya, termasuk dalam hal
menikah dini.
- Kedua, Menikah dan juga menikah
dini adalah sunnah.
- Ketiga, Menikah dini sunnah bagi
mahasiswa yang masih dapat mengendalikan diri.
- Keempat, Menikah dini wajib bagi
mahasiswa yang tidak dapat lagi mengendalikan diri.
- Kelima, Menikah dini dalam dua
keadaan tersebut mensyaratakan adanya kesiapan ilmu, harta (nafkah), dan fisik,
di samping mensyaratkan tetap adanya kemampuan melaksanakan kewajiban
kuliah (menuntut ilmu).
- Keenam, Islam telah menetapkan
hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi terhindar dari
rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat.
Sekian_____
Terimakasii.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar